Sabtu, 16 November 2013

MAKALAH POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

PEMBAHASAN

A.    Poligami dalam perspektif Islam
Poligami berasal dari dua kata, yakni “Poli” dan “Gami”.  Secara Etimologi, Poli artinya banyak, sedangkan Gami artinya Istri. Jadi poligami artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu, seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.[1]
Allah swt. membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriyah. Jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu istri saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam surah An-Nisa ayat 3, yang berbunyi :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Artinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Poligami bukanlah syariat baru yang diperbolehkan islam. Poligami merupakan budaya lama yang dimiliki bangsa Arab sebelumnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ghilan bin Salamah Ats-Tsaqafi dan Harits bin Qais sebelum masuk islam. Hanya saja, Islam datang untuk mengatur dan merapikan masalah poligami, sehingga tidak setiap orang bisa melakukannya tanpa aturan, atau hanya untuk memenuhi syahwatnya belaka.
Pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, maka poligami atau seorang suami beristeri lebih dari seorang perempuan diperbolehkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan pengadilan telah member izin (pasal 3 (2) UUP). Adapun alasan-alasan yang dipedomani oleh pengadilan untuk dapat member izin poligami, ditegaskan dalam pasal 4 (2) UU Perkawinan. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.[2]
Apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas adalah mengacu kepada tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam rumusan kompilasi yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Jika ketiga hal tersebut di atas menimpa satu keluarga atau pasangan suami isteri sudah tentu terjadi kehampaan dan kekosongan dalam kehidupan rumah tangga. 
Hukum ta’addud (poligami) adalah mubah, bukan sunnah ataupun wajib. Artinya dalam kondisi yang dimana menuntut asanya poligami seperti mandulnya seorang istri, istri yang sakit, tidak bisa sama sekali melayani kebutuhan biologis suami dan meningkatnya jumlah kaum wanita, maka islam memberikan solusi ini dengan mensyaratkan adanya keadilan dalam mengatur urusan-urusan keluarga.

B.  Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tatacara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, di Indonesia dengan kompilasi hukum Islamnyatelah mengatur hal tersebut sebagai berikut :[3]
Pasal 56
1.      Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
2.      Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
3.      Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat, tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
           Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58
1.      Selain syarat utama yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu :
a.       Adanya persetujuan istri
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
2.      Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, Persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
3.      Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi sorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding dan kasasi.

C.    Syarat – Syarat Poligami
1.      Dapat berlaku adil
Allah swt. berfirman dalam surah an-Nisa, ayat 3 yang artinya :
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.
Barang siapa yang takut tidak akan dapat berlaku adil, maka hendaklah ia kawin dengan seorang wanita saja. Dan barangsiapa percaya bahwa dirinya akan mampu mewujudkan keadilan, maka bolehlah ia melakukan poligami.
2.      Mampu memberi nafkah kepada istri-istrinya dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggungannya.
3.      Mampu memelihara istri-istri dan anak-anaknya dengan baik.[4]

D.    Faktor – Faktor  Yang Mendorong Poligami
1.      Memecahkan problema dalam keluarga.
a)      Istri mandul, padahal mempunyai anak itu merupakan tuntutan dan sesuatu yang sangat didambakan, bahkan dianjurkan oleh syara’.
b)      Terdapat cacat fisik atau kekurangan pada kepribadian si istri sehingga tidak menyenangkan dan menenangkan perasaan suami.
c)      Si istri menderita penyakit berkepanjangan, (sakit fisik maupun psikis) yang menjadikan kehidupan suami kusut.
2.      Memenuhi kebutuhan yang mendesak Bagi suami.
3.      Hendak melakukan perbuatan yang baik terhadap wanita sholeh yang tidak ada yang memeliharanya.
4.      Ingin menambah kesenangan karena kesehatannya prima dan kuat ekonominya.
a)      Tidak lebih dari empat orang
b)      Disyariatkan adil terhadap para istri
c)      Tidak memadukan seorang wanita dengan saudaranya atau bibinya (dari pihak ayah ataupun ibu)
d)     Ada kerabat yang haram dikawini, tetapi sebagian fuqaha memakruhkannya demi menjaga kekeluargaan.

E.     Adab-Adab Yang Berhubungan Dengan Poligami
1.      Setelah usai perkawinan, berdiam di rumah istri baru yang gadis selama seminggu dan yang janda selama tiga hari.
2.      Bagus kiranya kalau melewati (menjenguk) istri yang bukan sedang waktu gilirannya, untuk menghiburnya, sehingga tidak terkesan ia menganiayanya selama berpisah.
3.      Si istri tidak mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istrinya yang pertama.
4.      Si istri tidak menerima suami untuk menceraikan madunya.
5.      Si wanita tidak boleh berpura-pura dihadapan madunya dengan menampakkan sesuatu sebagai pemberian suaminya, padahal suami tidak memberinya demikian.
6.      Menyebut madunya sebagai tetangga.[5]

F.     Problem Yang Ditimbulkan Oleh Poligami
a.       Bertambahnya tanggung jawab diatas pundak suami.
Yaitu, tanggung jawab memelihara dua rumah tangga atau lebih, dan tanggung jawab memelihara anak dalam jumlah yang lebih besar, baik laki-laki maupun perempuan. Dan tanggung jawab ini bertingkat-tingkat antara satu masa dan masa lainya.
b.      Menambah beban dan kesulitan diatas pundak suami
c.       Suami harus selalu sadar dan hati-hati.
d.      Keharusan berlaku adil
Adil dengan pengertian umum merupakan kewajiban yang harus ditegakkan oleh seorang muslim (Q.S. An-Nahl 16: 90). Karena semua aspek kehidupan tidak bisa tegak ketika nilai keadilan tidak hadir di dalamnya. Oleh karena itu, nilai ini harus benar-benar ada pada lintas wilayah keadilan yang meliputi berbagai dimensi kehidupan berikut ini :
a)      Keadilan bersama Allah. Artinya tidak menyekutukan-Nya, tidak maksiat kepada-Nya, tidak melupakan-Nya dan terus mensyukuri-Nya.
b)      Keadilan dalam supremasi hukum
c)      Berlaku adil terhadap para istri dan anak
d)     Adil dalam bertutur kata
e)      Adil dalam keyakinan, artinya hanya meyakini nilai-nilai kebenaran.
Dalam masalh poligami keadilan merupakan nilai paling urgen demi menciptakan keharmonisan keluarga. Saking urgennya, seakan-akan dasar atau landasan diperbolehkan atau tidaknya poligami adalah bagaimana seorang suami mampu menegakkan keadilan.
e.       Ancaman tidak berlaku adil
Nilai keadilan harus ditegakkan dalam pembinaan keluarga, terlebih keluarga yang terdiri dari satu istri. Jelas berlaku adil adalah hal esensial, yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam keluarga. Keadilan juga merupakan dasar atau landasan utama, dimana tonggak-tonggak kewajiban suami istri ditegakkan di atasnya. Maka suami yang tidak berlkau adil dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan keluarga dan para istri seperti menggilir, member nafkah, mengundi dan lain-lainnya, ia akan mendapatkan sanksi dan menanggung akibatnya di hari pembalasan nanti.
Di sini suami harus bersikap adil
a)      Pembagian hari
Setelah suami memenuhi kewajibannya terhadap istri barunya yaitu bermalam disisinya selama tujuh hari bagi yang perawan dan atau tiga hari bagi yang janda, maka ia harus berlaku adil dalam menggilir istrinya sesuai dengan kesepakatan bersama.
b)      Tempat tinggal
Berlaku adil dalam hal ini, tidaklah berarti harus sama dalam segala hal. Idealnya, setiap istri menempati rumah sendiri-sendiri untuk menjaga dari luapan emosi dan kecemburuan berlebihan. Namun ketika diantara mereka rela dikumpulkan dalam satu rumah dengan kamar khusus masing-masing, karena kondisi tertentu maka hal ini masih dibenarkan oleh islam. Satu hal yang pasti, tidak dibenarkan mengumpulkan istri-istri dalam satu kamar meskipun mereka semua ridha. Karena hal ini bertentanagn dengan muru’ah islamiyah dan merupakan tindakan destruktif. Alqur’an memberikan tuntunan dalam surah at-thalaq 65 ayat 6.
c)      Bepergian (jalan-jalan)
Ketika suami hendak bepergian atau ingin jalan-jalan, tidak semua istri harus diikutsertakan. Untuk menegakkan keadilan dalam hal ini, maka suami harus mengundi.

f.       Boleh tidak berlaku adil
a)      Nafkah lahiriyah (sandang, pangan dan papan).
Suami tidak diwajibkan menyamaratakan nafkah lahiriyah terhadap semua istri. Kewajibannya di sini adalah mencukupi sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Bagi yang sudah merasa cukup sandang pangannya, tidak harus dipenuhi seperti yang lainnya.
b)      Rasa sayang dan hubungan seksual
Tidak diwajibkan seorang suami untuk berlaku adil atau menyamaratakan dalam mencintai, menyayangi dan melakukan hubungan seksual terhadap seorang istri. Seandainya hal ini diwajibkan terhadap suami, maka tidak seorangpun mampu melaksanakannya. Karena mengandung masyaaqah (kepayahan) dan sangat berat bagi setiap muslim untuk melakukannya. Oleh karena itu Allah swt memberikan rukhsah (keringanan) dalam pembagian cinta dan kasih sayang.
g.      Memberikan hari giliran kepada istri lain
Setiap istri berhak mendapat hari atau malam giliran yang adil setelah suami berada di sisi istri barunya selama tiga atau tujuh hari bagi yang perawan. Akan tetapi, diperbolehkan bagi seorang istri memberikan hari gilirannya kepada istri atau madu yang lain. Hal ini disebabkan tingkat kebutuhan para istri berbeda-beda sesuai dengan factor yang dimilikinya, seperti faktor usia, tingkat kesibukan, dan faktor lainnya. [6]




[1] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006), h. 129.  
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, cet. 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2000), h. 171
[3]Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 134
[4] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 5, cet.1, (Jakarta : Gema Insani, 1998), h. 389.
[5] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 5, h. 400.
[6] Al-Manar, Fikih Nikah, cet. 3,(Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2007), h. 94