MAKALAH POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
PEMBAHASAN
A. Poligami dalam perspektif Islam
Poligami berasal dari dua kata, yakni “Poli”
dan “Gami”. Secara Etimologi,
Poli artinya banyak, sedangkan Gami artinya Istri. Jadi poligami artinya
beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu, seorang laki-laki
mempunyai lebih dari satu istri. Atau seorang laki-laki beristri lebih dari
seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.[1]
Allah swt. membolehkan berpoligami sampai
empat orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam
melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan
segala hal yang bersifat lahiriyah. Jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup
satu istri saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam surah
An-Nisa ayat 3, yang berbunyi :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Artinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”.
Poligami
bukanlah syariat baru yang diperbolehkan islam. Poligami merupakan budaya lama
yang dimiliki bangsa Arab sebelumnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ghilan
bin Salamah Ats-Tsaqafi dan Harits bin Qais sebelum masuk islam. Hanya saja, Islam datang untuk mengatur dan merapikan
masalah poligami, sehingga tidak setiap orang bisa melakukannya tanpa aturan,
atau hanya untuk memenuhi syahwatnya belaka.
Pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri, maka poligami atau seorang suami beristeri
lebih dari seorang perempuan diperbolehkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dan pengadilan telah member izin (pasal 3 (2) UUP). Adapun alasan-alasan yang dipedomani
oleh pengadilan untuk dapat member izin poligami, ditegaskan dalam pasal 4 (2)
UU Perkawinan. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
Apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di
atas adalah mengacu kepada tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan yaitu
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam rumusan kompilasi yang sakinah, mawaddah dan
warahmah. Jika ketiga hal tersebut di atas
menimpa satu keluarga atau pasangan suami isteri sudah tentu terjadi kehampaan
dan kekosongan dalam kehidupan rumah tangga.
Hukum ta’addud (poligami) adalah mubah, bukan sunnah
ataupun wajib. Artinya dalam kondisi yang dimana menuntut asanya poligami
seperti mandulnya seorang istri, istri yang sakit, tidak bisa sama sekali
melayani kebutuhan biologis suami dan meningkatnya jumlah kaum wanita, maka
islam memberikan solusi ini dengan mensyaratkan adanya keadilan dalam mengatur
urusan-urusan keluarga.
B. Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tatacara poligami yang
resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, di
Indonesia dengan kompilasi hukum Islamnyatelah mengatur hal tersebut sebagai
berikut :[3]
Pasal 56
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
pengadilan agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata
cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat, tanpa
izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan
Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
1. Selain syarat utama yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu :
a. Adanya persetujuan istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah
No.9 Tahun 1975, Persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara
tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang
Pengadilan Agama.
3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi sorang
suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar
dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab
lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan
persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang
berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding dan kasasi.
C. Syarat – Syarat Poligami
1. Dapat berlaku adil
Allah swt. berfirman dalam surah an-Nisa, ayat 3 yang artinya
:
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja”.
Barang siapa yang takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka hendaklah ia kawin dengan seorang wanita saja. Dan barangsiapa percaya
bahwa dirinya akan mampu mewujudkan keadilan, maka bolehlah ia melakukan
poligami.
2. Mampu memberi nafkah kepada istri-istrinya dan anak-anaknya serta orang
yang menjadi tanggungannya.
3. Mampu memelihara istri-istri dan anak-anaknya dengan baik.[4]
D. Faktor – Faktor Yang Mendorong
Poligami
1. Memecahkan problema dalam keluarga.
a) Istri mandul, padahal mempunyai anak itu merupakan tuntutan dan sesuatu
yang sangat didambakan, bahkan dianjurkan oleh syara’.
b) Terdapat cacat fisik atau kekurangan pada kepribadian si istri sehingga
tidak menyenangkan dan menenangkan perasaan suami.
c) Si istri menderita penyakit berkepanjangan, (sakit fisik maupun psikis)
yang menjadikan kehidupan suami kusut.
2. Memenuhi kebutuhan yang mendesak Bagi suami.
3. Hendak melakukan perbuatan yang baik terhadap wanita sholeh yang tidak ada
yang memeliharanya.
4. Ingin menambah kesenangan karena kesehatannya prima dan kuat ekonominya.
a) Tidak lebih dari empat orang
b) Disyariatkan adil terhadap para istri
c) Tidak memadukan seorang wanita dengan saudaranya atau bibinya (dari pihak
ayah ataupun ibu)
d) Ada kerabat yang haram dikawini, tetapi sebagian fuqaha memakruhkannya demi
menjaga kekeluargaan.
E. Adab-Adab Yang Berhubungan Dengan Poligami
1. Setelah usai perkawinan, berdiam di rumah istri baru yang gadis selama
seminggu dan yang janda selama tiga hari.
2. Bagus kiranya kalau melewati (menjenguk) istri yang bukan sedang waktu
gilirannya, untuk menghiburnya, sehingga tidak terkesan ia menganiayanya selama
berpisah.
3. Si istri tidak mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istrinya yang
pertama.
4. Si istri tidak menerima suami untuk menceraikan madunya.
5. Si wanita tidak boleh berpura-pura dihadapan madunya dengan menampakkan
sesuatu sebagai pemberian suaminya, padahal suami tidak memberinya demikian.
6. Menyebut madunya sebagai tetangga.[5]
F. Problem Yang Ditimbulkan Oleh Poligami
a. Bertambahnya tanggung jawab diatas pundak suami.
Yaitu, tanggung jawab memelihara dua rumah tangga atau
lebih, dan tanggung jawab memelihara anak dalam jumlah yang lebih besar, baik
laki-laki maupun perempuan. Dan tanggung jawab ini bertingkat-tingkat antara
satu masa dan masa lainya.
b. Menambah beban dan kesulitan diatas pundak suami
c. Suami harus selalu sadar dan hati-hati.
d. Keharusan
berlaku adil
Adil
dengan pengertian umum merupakan kewajiban yang harus ditegakkan oleh seorang
muslim (Q.S. An-Nahl 16: 90). Karena semua aspek kehidupan tidak bisa tegak
ketika nilai keadilan tidak hadir di dalamnya. Oleh karena itu, nilai ini harus
benar-benar ada pada lintas wilayah keadilan yang meliputi berbagai dimensi
kehidupan berikut ini :
a) Keadilan
bersama Allah. Artinya tidak menyekutukan-Nya, tidak maksiat kepada-Nya, tidak
melupakan-Nya dan terus mensyukuri-Nya.
b) Keadilan
dalam supremasi hukum
c) Berlaku
adil terhadap para istri dan anak
d) Adil
dalam bertutur kata
e) Adil
dalam keyakinan, artinya hanya meyakini nilai-nilai kebenaran.
Dalam
masalh poligami keadilan merupakan nilai paling urgen demi menciptakan
keharmonisan keluarga. Saking urgennya, seakan-akan dasar atau landasan
diperbolehkan atau tidaknya poligami adalah bagaimana seorang suami mampu
menegakkan keadilan.
e. Ancaman
tidak berlaku adil
Nilai
keadilan harus ditegakkan dalam pembinaan keluarga, terlebih keluarga yang
terdiri dari satu istri. Jelas berlaku adil adalah hal esensial, yang mampu
menciptakan suasana harmonis dalam keluarga. Keadilan juga merupakan dasar atau
landasan utama, dimana tonggak-tonggak kewajiban suami istri ditegakkan di
atasnya. Maka suami yang tidak berlkau adil dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan keluarga dan para istri seperti menggilir, member nafkah,
mengundi dan lain-lainnya, ia akan mendapatkan sanksi dan menanggung akibatnya
di hari pembalasan nanti.
Di sini suami harus
bersikap adil
a) Pembagian
hari
Setelah
suami memenuhi kewajibannya terhadap istri barunya yaitu bermalam disisinya
selama tujuh hari bagi yang perawan dan atau tiga hari bagi yang janda, maka ia
harus berlaku adil dalam menggilir istrinya sesuai dengan kesepakatan bersama.
b) Tempat
tinggal
Berlaku
adil dalam hal ini, tidaklah berarti harus sama dalam segala hal. Idealnya,
setiap istri menempati rumah sendiri-sendiri untuk menjaga dari luapan emosi
dan kecemburuan berlebihan. Namun ketika diantara mereka rela dikumpulkan dalam
satu rumah dengan kamar khusus masing-masing, karena kondisi tertentu maka hal
ini masih dibenarkan oleh islam. Satu hal yang pasti, tidak dibenarkan
mengumpulkan istri-istri dalam satu kamar meskipun mereka semua ridha. Karena
hal ini bertentanagn dengan muru’ah islamiyah dan merupakan tindakan
destruktif. Alqur’an memberikan tuntunan dalam surah at-thalaq 65 ayat 6.
c) Bepergian
(jalan-jalan)
Ketika
suami hendak bepergian atau ingin jalan-jalan, tidak semua istri harus
diikutsertakan. Untuk menegakkan keadilan dalam hal ini, maka suami harus
mengundi.
f. Boleh
tidak berlaku adil
a) Nafkah
lahiriyah (sandang, pangan dan papan).
Suami
tidak diwajibkan menyamaratakan nafkah lahiriyah terhadap semua istri.
Kewajibannya di sini adalah mencukupi sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Bagi yang sudah merasa cukup sandang pangannya, tidak harus dipenuhi seperti
yang lainnya.
b) Rasa
sayang dan hubungan seksual
Tidak
diwajibkan seorang suami untuk berlaku adil atau menyamaratakan dalam
mencintai, menyayangi dan melakukan hubungan seksual terhadap seorang istri.
Seandainya hal ini diwajibkan terhadap suami, maka tidak seorangpun mampu
melaksanakannya. Karena mengandung masyaaqah (kepayahan) dan sangat berat bagi
setiap muslim untuk melakukannya. Oleh karena itu Allah swt memberikan rukhsah
(keringanan) dalam pembagian cinta dan kasih sayang.
g. Memberikan hari
giliran kepada istri lain
Setiap istri berhak mendapat hari atau malam giliran yang
adil setelah suami berada di sisi istri barunya selama tiga atau tujuh hari
bagi yang perawan. Akan tetapi, diperbolehkan bagi seorang
istri memberikan hari gilirannya kepada istri atau madu yang lain. Hal ini
disebabkan tingkat kebutuhan para istri berbeda-beda sesuai dengan factor yang
dimilikinya, seperti faktor usia, tingkat kesibukan, dan faktor lainnya. [6]